Selasa, 21 Mei 2013

Misi Rohani Ulama Penjara Texas Amerika



Misi Rohani Ulama Penjara Texas Amerika

Ulama penjara di Texas, Amerika Serikat, memperjuangkan Islam dengan caranya sendiri. Kini jumlah mualaf di 23 penjara di negara bagian itu kian berlipat.

Imam Omar Shakir melintasi ruang sinder bercat putih dengan tergesa-gesa. Di ujung lorong, sekelompok wanita dengan jumpsuit putih sudah mulai gelisah menunggunya. Rupanya ini yang membuatnya berjalan setengah berlari.

Assalaamu alaikum, damai untuk Anda sekalian, ujar Shakir dengan senyum hormat. Mereka menjawab salam dengan tak kalah takzim. Setelah menyebut alasan keterlambatannya - masalah klasik: kemacetan lalu lintas - Shakir memulai tausiyahnya. Temanya kali ini adalah Menuju Ketenangan Hati dengan Berzikir. Tak menunggu hitungan menit, tausiyah berubah menjadi dialog interaktif. Masing-masing peserta seolah sudah menyiapkan deretan pertanyaan untuk Shakir. Satu jam waktu yang disediakan seperti kurang. Ia menutup diskusi itu dengan kalimat pendek, Simpan pertanyaan Anda untuk pengajian bulan depan.

Menjangkau kelompok ini bukan hal yang gampang bagi Shakir. Ia harus menempuh perjalanan sejauh 161 km dari San Antonio tempatnya bermukim menuju penjara khusus wanita Halbert Unit di Burnet, timur laut Austin. Shakir sudah hampir tiga tahun menekuni profesi ini, menjadi ulama di penjara. Bersama empat koleganya, dia bergabung dalam program Islamic Faith di 110 penjara di Texas. :video

Program ini memastikan semua narapidana Muslim mendapatkan hak-hak atas pelayanan rohani sama seperti mereka yang berada di luar penjara. Kini kerjanya mungkin sedikit mudah, setelah sebuah tim relawan yang sebagian besar adalah mualaf bersedia tanpa dibayar untuk membantu mereka.

Di penjara-penjara di seluruh Texas kini terdapat kurang lebih 7.500 Muslim. Banyak di antara narapidana itu menjadi Muslim setelah berada di dalam penjara. Bagi mereka, penjara seperti ladang pencerahan, karena sinar Islam justru ditemukannya di tempat itu.

Bagi Shakir, program ini merupakan cara efektif untuk turut menekan bertambahnya angka penjahat kambuhan di Texas. Kita tengah menghadapi sebuah wabah penyakit sosial, agama menurut saya adalah salah satu obat penyembuhnya, kata dia. Tanpa dasar agama, kata dia, orang akan mati rasa dan kehilangan moralitasnya.

Dia menganggap apa yang dilakukannya - mengajarkan agama kepada mereka yang belum beragama -- adalah jihad. Saya senang mengajarkan agama dan melihat sinar teduh memancar dari mata mereka, ujarnya.

Shakir adalah nama hijrahnya. Ia terlahir sebagai Kirk Spencer, lahir di Lima, Ohio, tahun 1958. Menjelang ulang tahunnya yang pertama, orang tuanya meninggalkan kota itu dan bermukim di Schenectady, New York.

Tahun 1974 adalah kali pertama ia bersinggungan dengan paham Islam. Usianya baru 15 tahun saat ia mengenal Islam dari guru seninya yang seorang Muslim.

Dia sempat lari dari rumah karena orang tuanya tidak setuju dia pindah agama. Namun tekadnya sudah bulat, maka di ulang tahunnya yang ke-17, dia menjadi seorang Muslim dan mengganti namanya menjadi Omar Quadir Adib Shakir. Tak harus mengganti nama sebetulnya, tapi saya melakukannya sebagai simbol dari kelahiran kembali diri saya, ujar ayah dari tiga anak umur 23, 21, dan 16 tahun ini.

Pindah agama mengubah hidupnya. Islam bukan agama yang penuh ritual, tapi serangkaian jalan hidup yang menyeluruh, ujarnya. Keinginannya untuk menebarkan damai Islamlah yang membuatnya menjadi chaplain (ulama dengan spesifikasi khusus) dan mengabdi di penjara-penjara di Texas.

Ia bekerja untuk dua dari 23 penjara di Texas, yaitu di penjara El Paso dan Rio Grande Valley. Dua atau tiga kali setahun ia memberi tausiyah di penjara-penjara lainnya.

Di luar tugas itu, ia menjadi imam di Masjid Bilal di kotanya. Masjid ini dimotori oleh 19 keluarga Muslim San Antonio dan menjadi salah satu rujukan warga setempat mempelajari Islam.

Kehadiran ulama penjara sangat penting bagi narapidana Muslim. Seperti dikatakan Curtis Elliott, tak mudah menjadi sorang Muslim di penjara. Banyak ujian, dan kita harus kuat demi iman kita, ujarnya.

Elliott, 29 tahun, tumbuh dalam keluarga Kristen Baptist. Namun ia tak pernah merasakan sentuhan agama masuk ke dalam relung batinnya.

Tahun 1994, karena suatu sebab, ia harus meringkuk di penjara Cotulla untuk waktu 10 bulan. Ia tinggal satu sel dengan seorang tahanan Muslim.

Sama seperti warga Amerika Serikat lainnya, ia memandang miring rekan sepenjaranya itu. Namun, stereotip Muslim makin luntur setelah melihat keseharian sosok rekannya itu. Dia tak pernah menyakiti orang atau menghujat orang. Dia sangat bersih dan santun, Elliot menceritakan kesan pertama tentang rekannya itu.

Sampai di suatu titik, ia ikut sang teman mengaji. Dua tiga kali hadir di pertemuan pengajian, ia yakin memilih Islam. Ini agama yang tanpa keraguan. Agama ini memang buat saya, ujarnya.

Sebelum menyatakan kesilamannya, ia melakukan semua ibadah layaknya seorang Muslim, termasuk shalat lima waktu dan puasa Ramadhan. Tak seperti yang kita bayangkan sebelumnya, puasa tidak membuat kita mati kelaparan, ujarnya tergelak. Ia pun bersyahadat di depan teman-temannya, dengan bimbingan ulama penjara.

Kini ia tak hanya shalat, puasa, dan zakat saja, tetapi menjadi relawan untuk membantu ulama penjara. Di dalam selnya, ia berdakwah dengan caranya sendiri. Ada kebimbangan di awalnya, tapi Anda hanya memerlukan sedikit waktu untuk reevaluasi hidup dan menemukan apa yang telah ditempuh belakangan ini adalah langkah yang keliru, ujarnya.
Dibutuhkan tapi Dicurigai

Jumlah penganut Islam di penjara-penjara di Amerika Serikat memang terus bertambah. Sebuah penelitian berskala nasional bahkan pernah dilakukan untuk membuktikan hipotesa ini. Angka paling dramatis diperoleh di kompleks penjara Rikers Island di New York, dimana sebagian besar penghuninya kini telah menjadi Muslim.

Penyebaran Islam di penjara dilakukan oleh para narapidana sendiri. Umumnya adalah di kalangan penghuni kulit hitam, yang diilhami oleh semangat Elijah Muhammed dan Malcolm X, tokoh Muslim kulit hitam AS. Namun belakangan, narapidana etnis Hispanik dan kulit putih juga banyak yang berpindah agama.

Imam Omar Shakir bukan satu-satunya ulama penjara yang namanya banyak dikutip media. Sebelumnya, beberapa nama mencuat sebagai bumbu tulisan berbau pendiskriditan Islam, menyusul temuan meningkatnya angka pertumbuhan Muslim di penjara. Ulama penjara turut berperang melipatkan jumlah ekstemis Muslim jebolan penjara, begitu berita utama beberapa media papan atas Barat menulis.

Banyak ulama penjara dilabeli guru teroris. Atau, berkomplot dengan narapidana teroris. Kasus terakhir adalah apa yang menimpa ulama militer James Yee yang pernah bertugas di penjara Guantanamo.

Biro Lembaga Pemasyakatan AS(US Bureau of Prisons) pernah dikritik habis Mei lalu terkait dengan seleksi ulama penjara yang dinilai lemah sehingga berpotensi menumbuhkan benih-benih terorisme di penjara. Perlu dilakukan langkah penting untuk mengoreksinya, begitu bunyi tajuk utama The Washington Post.

Departemen Kehakiman bertindak sigap menjawab hal itu. Melalui ispektor jenderalnya, Glenn A Fine, mereka menyatakan menerima 13 rekomendasi baru terkait penerimaan ulama penjara baru, termasuk dalam proses screening hingga supervisi mereka. Proses yang sama juga diberlakukan bagi para kontraktor dan relawan yang membantu tugas mereka.

Fine menyatakan, ulama penjara sangat dibutuhkan untuk menyampaikan layanan rohani bagi narapidana Muslim sekaligus meredam mereka. Tanpa ulama penjara, kata dia, layanan rohani akan dipimpin oleh narapidana sendiri dan hal itu justru sangat potensial menimbulkan distorsi dan memunculkan ekstremitas beragama

Tidak ada komentar:

Posting Komentar