Selasa, 21 Mei 2013

Ketulusan Perjuangan Seorang Ibu



Ketulusan Perjuangan Seorang Ibu 

Bunda, ibu, mama, mami, umi, emak, dan berbagai panggilan lain yang tujukan kepada orang yang melahirkan kita, membahagiakan kita, memberi kasih dan sayangnya kepada kita, yang menjaga kita dengan ketulusan hatinya, merawat kita dengan kerendahan hati yang dimilikinya, melindungi kita dengan kebahagiaan yang dipancarkannya. Dia mendidik kita dengan cara terbaik yang dia miliki agar kita menjadi insan manusia berbudi pekerti dan berbahagia. ketika kita bayi kita menangis, namun dia menenangkan kita dalam pangkuan hangatnya yang kita rindukan. 

Dia membersihkan kotoran kita tanpa rasa jijik sekalipun, menyusui kita dengan kerelaan hatinya. Semua hal itu dilakukan agar kita menjadi orang yang berharga nantinya. Tak ada di benaknya untuk tidak mengasihi kita. Berbagai luka yang kita berikan kepadanya, namun dia tetap ikhlas menjaga kita dengan ketulusan hati.

Sebagai seorang anak sepatutnyalah kita membahagiakannya, mendoakannya, melindunginya dari rapuh tubuhnya yang sudah mulai menua. Bahagiakanlah dia dengan akhlak yang kita miliki. Kita menjadi insan yang madani, anak yang berbakti, merawatnya dengan kebaikan pribadi kita yang diajarkannya. Jika ada perkatan seorang anak yang berbakti kepada ibunya, maka perkataan itu akan menyejukan hatinya dari kekeringan dahaga kesejukan hati.

Kelak kita akan menjadi orang tua bagi anak kita dan akan menjadi orang tua yang rapuh tubuhnya, hal inilah yang mengingatkan kita bahwa kita perlu menjaganya..

Kisah Perjuangan Seorang Ibu -- Kisah ini adalah kisah nyata sebuah keluarga yang sangat miskin, yang memiliki seorang anak laki-laki. Ayahnya sudah meninggal dunia, tinggallah ibu dan anak laki-lakinya untuk saling menopang. Ibunya bersusah payah seorang diri membesarkan anaknya, dan disaat itu kampung tersebut belum memiliki listrik. Saat membaca buku, sang anak tersebut diterangi sinar lampu minyak, sedangkan ibunya dengan penuh kasih menjahitkan baju untuk sang anak.

Saat sang anak memasuki sekolah menengah atas.Tetapi justru saat itulah ibunya menderita penyakit rematik yang parah sehingga tidak bisa lagi bekerja disawah. Saat itu setiap bulannya murid-murid diharuskan membawa 30 kg beras untuk dibawa kekantin sekolah. Sang anak mengerti bahwa ibunya tidak mungkin bisa memberikan 30 kg beras tersebut. Dan kemudian berkata kepada ibunya :
" Bu, saya mau berhenti sekolah dan membantu ibu bekerja disawah".

Ibunya mengelus kepala anaknya dan berkata : "Kamu memiliki niat seperti itu ibu sudah senang sekali, tetapi kamu harus tetap sekolah. Jangan khawatir, kalau ibu sudah melahirkan kamu, pasti bisa merawat dan menjaga kamu. Cepatlah pergi daftarkan kesekolah nanti berasnya ibu yang akan bawa kesana".

Karena sang anak tetap bersikeras tidak mau mendaftarkan kesekolah, ibunya menampar sang anak tersebut. Dan ini adalah pertama kalinya sang anak ini dipukul oleh ibunya. Sang anak akhirnya pergi juga kesekolah. Sang ibu terus berpikir dan merenung dalam hati sambil melihat bayangan anaknya yang pergi menjauh.

Tak berapa lama, dengan terpincang-pincang dan nafas tergesa-gesa Ibunya datang kekantin sekolah dan menurunkan sekantong beras dari bahunya. Pengawas yang bertanggung jawab menimbang beras dan membuka kantongnya dan mengambil segenggam beras lalu menimbangnya dan berkata :

" Kalian para wali murid selalu suka mengambil keuntungan kecil, kalian lihat, disini isinya campuran beras dan gabah. Jadi kalian kira kantin saya ini tempat penampungan beras campuran".
Sang ibu ini pun malu dan berkali-kali meminta maaf kepada ibu pengawas tersebut.

Awal Bulan berikutnya ibu memikul sekantong beras dan masuk kedalam kantin. Ibu pengawas seperti biasanya mengambil sekantong beras dari kantong tersebut dan melihat. Masih dengan alis yang mengerut dan berkata :

"Masih dengan beras yang sama". Pengawas itupun berpikir, apakah kemarin itu dia belum berpesan dengan Ibu ini dan kemudian berkata : "Tak perduli beras apapun yang Ibu berikan kami akan terima tapi jenisnya harus dipisah jangan dicampur bersama, kalau tidak maka beras yang dimasak tidak bisa matang sempurna. Selanjutnya kalau begini lagi, maka saya tidak bisa menerimanya".

Sang ibu sedikit takut dan berkata : "Ibu pengawas, beras dirumah kami semuanya seperti ini jadi bagaimana?"

Pengawas itu pun tidak mau tahu dan berkata : "Ibu punya berapa hektar tanah sehingga bisa menanam bermacam-macam jenis beras?"

Menerima pertanyaan seperti itu sang ibu tersebut akhirnya tidak berani berkata apa-apa lagi.

Awal bulan ketiga, sang ibu datang kembali kesekolah. Sang pengawas kembali marah besar dengan kata-kata kasar dan berkata: "Kamu sebagai ibu kenapa begitu keras kepala, kenapa masih tetap membawa beras yang sama. Bawa pulang saja berasmu itu!".

Dengan berlinang air mata sang ibu pun berlutut di depan pengawas tersebut dan berkata: "Maafkan saya bu, sebenarnya beras ini saya dapat dari mengemis".

Setelah mendengar kata sang ibu, pengawas itu kaget dan tidak bisa berkata apa-apa lagi. Sang ibu tersebut akhirnya duduk diatas lantai, menggulung celananya dan memperlihatkan kakinya yang sudah mengeras dan membengkak. Sang ibu tersebut menghapus air mata dan berkata: "Saya menderita rematik stadium terakhir, bahkan untuk berjalan pun susah, apalagi untuk bercocok tanam. Anakku sangat mengerti kondisiku dan mau berhenti sekolah untuk membantuku bekerja disawah. Tapi saya melarang dan menyuruhnya bersekolah lagi." Selama ini dia tidak memberi tahu sanak saudaranya yang ada dikampung sebelah. Lebih-lebih takut melukai harga diri anaknya.

Setiap hari pagi-pagi buta dengan kantong kosong dan bantuan tongkat pergi kekampung sebelah untuk mengemis. Sampai hari sudah gelap pelan-pelan kembali kekampung sendiri. Sampai pada awal bulan semua beras yang terkumpul diserahkan kesekolah.

Pada saat sang ibu bercerita, secara tidak sadar air mata Pengawas itupun mulai mengalir, kemudian mengangkat ibu tersebut dari lantai dan berkata: "Bu sekarang saya akan melapor kepada kepala sekolah, supaya bisa diberikan sumbangan untuk keluarga ibu."

Sang ibu buru- buru menolak dan berkata: "Jangan, kalau anakku tahu ibunya pergi mengemis untuk sekolah anaknya, maka itu akan menghancurkan harga dirinya. Dan itu akan mengganggu sekolahnya. Saya sangat terharu dengan kebaikan hati ibu pengawas, tetapi tolong ibu bisa menjaga rahasia ini."

Akhirnya masalah ini diketahui juga oleh kepala sekolah. Secara diam- diam kepala sekolah membebaskan biaya sekolah dan biaya hidup anak tersebut selama tiga tahun. Setelah 3 tahun kemudian, sang anak tersebut pun lulus dan dengan nilai tinggi. Dihari perpisahan sekolah, kepala sekolah sengaja mengundang ibu dari anak ini duduk diatas tempat duduk utama. Ibu ini merasa aneh, begitu banyak murid yang mendapat nilai tinggi, tetapi mengapa hanya ibu ini yang diundang. Yang lebih aneh lagi disana masih terdapat tiga kantong beras.

Pengawas sekolah tersebut akhirnya maju kedepan dan menceritakan kisah sang ibu ini yang mengemis beras demi anaknya bersekolah. Kepala sekolah pun menunjukkan tiga kantong beras itu dengan penuh haru dan berkata :

"Inilah sang ibu dalam cerita tadi." Dan mempersilakan sang ibu tersebut yang sangat luar biasa untuk naik keatas mimbar.

Anak dari sang ibu tersebut dengan ragu-ragu melihat kebelakang dan melihat gurunya menuntun mamanya berjalan keatas mimbar. Sang ibu dan sang anakpun saling bertatapan. Pandangan seorang ibu yang hangat dan lembut tertuju kepada anaknya. Akhirnya sang anak pun memeluk dan merangkul erat ibunya dan berkata: "Oh ibu . . ."

Itu lah kisah tentang betapa besarnya perjuangan dan kasih sayang seorang ibu kepada anaknya!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar